Kegilaan dan kelatahan konsumen akan “sesuatu
yang hot” selalu berulang. Ini bukan penyakit khas Indonesia. Ini fenomena
perilaku yang terjadi di seluruh dunia. Fenonema ini juga lazim disebut sebagai
“bandwagon
effect” (social proof) – efek kelatahan.
Dulu demam Angry Birds, dan sekarang jutaan
konsumen terjebak dalam euforia Pokemon Go.
Namun ada yang lebih kelam : kegilaan konsumen
akan Pokemon Go menyemburatkan sebuah fakta muram – tentang bahaya laten
smartphone.
Apa hubungan Pikachu (nama karakter dalam
Pokemon) dan bahaya laten smartphone?
Cal Newport dalam risalah terbarunya yang
memukau berjudul Deep Work,
menyebut sebuah istilah yang layak dikenang : shallow work.
Shallow work adalah sejenis aktivitas yang
dangkal, kelihatan sibuk, namun tidak berdampak signifikan buat peningkatan
skills dan income kita.
Dan ledakan smarthone sungguh telah membuat
banyak konsumen terjungkal dalam shallow work yang dangkal dan tidak produktif
– atau tidak punya impak nyata bagi peningkatan self competency.
Salah satu contoh shallow work, menurut Cal
Newport ya itu tadi : berjam-jam sok sibuk menghabiskan waktu untuk main game
(seperti Pokemon Go, Dota, Class of Clans dan sejenisnya) via smartphone atau
laptop.
Waktu yang sangat berharga, yang bisa dipakai
untuk melakukan deep work dan deep thinking demi peningkatan skills, terbuang
percuma lantaran berjam-jam dihabiskan untuk main game di smartphone.
Ada cerita nyata yang menarik. Alkisah ada dua
anak muda sama-sama usia 19 tahun. Yang satu sibuk berjam-jam main game online
(seperti Pokemon dan CoC). Yang satu sibuk belajar dan praktek jualan online
4 tahun kemudian, saat keduanya berusia 23
tahun, yang tadinya sibuk jualan online sudah bisa punya net income 25 juta per
bulan. Yang sibuk main game, bingung mau kerja apa dan malah jadi pengangguran. Modyarr
kon.
Selain main game yang hanya buang-buang waktu
untuk fun, contoh shallow work lain menurut Cal Newport adalah ini : terjebak
dalam distraksi notifikasi onlie via smartphone.
Distraksi smartphone itu terus mengalir,
always on, via notifikasi grup-grup WA yang diikuti, atau browsing status di FB
atau Instgram, atau menghabiskan waktu untuk membaca berita online yang acap
mutunya seperti sampah.
Terjebak Pokemon, terjebak diskusi ngalor
ngidul via grup WA, atau terjebak mengikuti status dan info online yang tidak
ada gunanya adalah contoh kelam tentang bahaya laten smartphone.
Itulah bahaya laten yang merampas waktu
produktif kita. Waktu berharga yang mestinya bisa digunakan untuk meningkatkan
skills dan income, terbuang percuma dalam layar smartphone yang destruktif.
Gangguan online tanpa henti dari smartphone
seperti itu, menurut Cal Newport, acap membuat kita gagal melakukan “deep work”
dan “deep thinking”. Deep work artinya menghasilkan karya yang wow, yang butuh
fokus, kedalaman serta konsentrasi yang tajam.
Sayangnya deep work seperti itu kini makin
sering gagal dilakukan karena tersapu oleh gelombang distraksi tanpa henti dari
smartphone.
Cal Newport menulis hal yang menarik : yang
melakukan deep work sejatinya adalah programmer yang menciptakan Pokemon (sang
jenius yang menghasilkan karya wow seperti itu). Sementara jutaan konsumennya
hanya terjebak dalam shallow work – aktivitas yang dangkal.
Jadilah kreator yang hebat. Bukan konsumen
yang selalu terjebak dalam euforia dan “dimanfaatkan” oleh para produsen
kreatif.
Namun bahaya laten smartphone bukan hanya
dalam hal merampas waktu produktif kita untuk melakukan hal-hal dangkal
seperti main game, cek status abal-abal, atau browsing infomasi online yang
tidak punya kaitan dengan perubahan income kita.
Bahaya laten smartphone lain adalah ini : menjebak
sel otak kita untuk terbiasa berpikir melompat-lompat – klik ini, klik
itu, tap ini tap itu, scroll, scrol dan terus berputar seperti itu.
Smartphone mendidik kita untuk tidak pernah
bisa fokus dan selalu “tergoda” untuk terus bergerak mengikuti aliran informasi
online atau distraksi notifikasi.
Dalam jangka panjang, proses seperti amat
kelam dampaknya. Sebuah riset neurologi membuktikan kini makin banyak anak-anak
muda generasi digital yang sulit membangun konsentrasi panjang (misal membaca
buku 50 halaman, atau menekuni sebuah pekerjaan yang menuntut deep thinking).
Attention span kita menjadi makin pendek – dan
selalu ingin bergegas (mirip seperti saat kita asyik main smartphone).
Akibatnya bisa fatal : sel otak yang terjebak
seperti itu jadi makin sulit diajak untuk menekuni sebuah problem sulit yang
menuntut ketekunan dan konsentrasi tajam.
Daya kegigihan dan ketekunan kita untuk
melakukan deep work dan deep thinking jadi makin redup dihancurkan oleh layar
smartphone.
Cal Newport menulis : tanpa kecakapan dan
ketekunan melakukan deep work, Anda hanya akan jadi pecundang, dan tidak pernah
bisa menghasilkan karya yang cetar membahana.
Mungkin itulah fakta pahit nan kelam tentang
“smartphone paradox” : smartphone yang kita pakai ini makin hari makin cerdas
teknologinya. Smarter machine. Namun sayang, gadget yang kian cerdas itu kadang
justru makin membuat penggunanya makin bodoh dan primitif.
Tanpa kesadaran untuk menjadi kreator yang
kreatif, jutaan konsuman smartphone hanya akan selalu terjebak dalam euforia,
persis seperti kegilaan Pokemon Go yang kini tengah meledak.
Tanpa kecerdasan digital (digital
intelligence) , maka layar smartphone hanya akan membuat kita terpelanting
dalam shallow work : aktivitas yang kelihatannya asyik namun sama sekali tidak
punya dampak berarti bagi peningkatan skills dan perbaikan income kita.
Inpiratif by strategimanajemen.net/Yodhia
Antariksa
perlu untuk direnungkan
ReplyDelete